Langkah Kecil Luh Sri

Cerpen oleh Dewa Ayu Vridayani D.A

Pagi itu, suasana di lingkungan SMA Negeri 1 Nusa Penida terasa begitu sejuk dan tenang. Langit berwarna abu muda, mendung tipis menyelimuti langit tanpa tanda hujan. Angin pagi berhembus lembut, menyapa setiap sudut halaman sekolah. Daun-daun kering yang gugur menari pelan, berputar mengikuti arah angin.

Bendera merah putih di tengah lapangan berkibar perlahan, seolah ikut menyambut kedatangan para siswa. Suara langkah kaki bersahutan, beberapa saling menyapa sambil tertawa kecil. Pagi itu tidak bising—justru damai, seperti memberi semangat halus bagi siapa pun yang melangkah ke dalam gerbang sekolah.

Di salah satu sudut kelas 10 Merdeka 5, Luh Sri duduk di bangku paling belakang, menghadap ke arah jendela yang catnya mulai mengelupas. Rambutnya ikal dan selalu diikat satu seperti ekor kuda. Kulitnya sawo matang, matanya coklat gelap, dan saat ia tersenyum, lesung pipitnya terlihat jelas. Tapi pagi itu, senyum itu tak muncul. Ia hanya menatap kosong ke arah papan tulis—bukan karena malas, tapi pikirannya sedang melayang entah ke mana.


“Anak-anak, minggu depan sekolah akan mengadakan lomba cerdas cermat antar kelas,” suara Ibu Wayan terdengar jelas di depan kelas. “Siapa yang mau ikut mewakili kelas kita?”

Beberapa siswa mengangkat tangan tinggi sambil berseru kecil, tampak bersemangat. Namun, Luh Sri hanya diam dan menunduk, memainkan ujung pulpen di tangannya.

“Luh Sri?” panggil Ibu Wayan dengan suara lembut.

Luh Sri sedikit tersentak lalu mengangkat kepalanya. “Iya, Bu?” jawabnya pelan.

“Kamu biasanya cepat angkat tangan kalau ada lomba. Tahun ini nggak mau coba ikut?” tanya Ibu Wayan sambil tersenyum tipis.

Luh Sri memaksa tersenyum, tapi matanya tak secerah biasanya. “Maaf, Bu… mungkin bukan sekarang.”

Ibu Wayan terdiam sejenak, memperhatikan raut wajah siswinya. Ada sesuatu yang berbeda dari Luh Sri akhir-akhir ini.


Hari-hari berikutnya terasa berat bagi Luh Sri. Saat istirahat, di lorong kelas, beberapa teman mengejeknya.
“Eh, sepatu kamu robek lagi ya?” bisik salah satu anak sambil tertawa.
“Makanya, beli baru dong. Masa anak SMA sepatunya begitu,” timpal yang lain.
Yang paling menusuk bukan kata-katanya—tapi tawa mereka yang terdengar nyaring.

Luh Sri hanya menunduk dan melangkah cepat. Ia tak punya tenaga lagi untuk membalas. Semakin hari, ejekan itu semakin sering terdengar. Bukan hanya soal sepatu, tapi juga soal pekerjaan orang tuanya.
“Anak nelayan sama penenun, ya pantas aja…” kata seseorang pelan, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak.


Keesokan harinya, saat jam pulang tiba, Ibu Wayan sengaja menunggunya di depan kelas.
“Luh Sri, sebentar ya. Ibu boleh bicara?”

Mereka duduk di bangku taman belakang sekolah yang dikelilingi pepohonan rindang. Angin sore berhembus pelan.
“Ibu perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun. Kamu ada masalah?” tanya Ibu Wayan hati-hati.

Luh Sri menggigit bibirnya, lalu berkata lirih, “Bu… kayaknya saya harus berhenti sekolah.”
“Berhenti sekolah?” Ibu Wayan tertegun.
“Bapak udah nggak bisa melaut lagi, Bu. Perahunya rusak. Ibu cuma menenun kain rang-rang. Kadang hasilnya nggak cukup buat makan, apalagi bayar SPP. Sepatu saya rusak, tas saya robek. Teman-teman juga sering ngejek. Rasanya capek banget, Bu.”

Air matanya akhirnya jatuh. Ibu Wayan tidak langsung memberi jawaban. Ia hanya menepuk bahu Luh Sri pelan, membiarkannya menangis sampai tenang.


Sementara itu, kehidupan di rumah juga tak mudah.
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Luh Sri membantu ibunya menyiapkan benang. Di ruang kecil di samping rumah, suara kretek-kretek alat tenun selalu terdengar. Ibunya bekerja hingga larut malam demi satu helai kain rang-rang yang dijual untuk mencukupi kebutuhan. Tapi meski sudah bekerja keras, uang itu sering tak cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

Bapak Luh Sri kini lebih banyak duduk di depan rumah. Perahunya yang rusak tidak bisa lagi digunakan untuk melaut. Tabungan pun habis untuk memperbaiki sebagian, namun tetap belum cukup.


Di sekolah, Luh Sri mulai sering menyendiri. Namun dua sahabatnya, Ayu dan Rika, perlahan mendekat.
“Luh, kenapa akhir-akhir ini kamu murung terus?” tanya Ayu pelan saat istirahat.
Luh Sri hanya menggeleng.
“Kalau ada apa-apa, kamu nggak sendiri,” kata Rika sambil menepuk bahunya.

Ucapannya sederhana, tapi entah kenapa, ada sedikit kehangatan yang menyusup ke hati Luh Sri.


Ibu Wayan tidak tinggal diam. Ia mulai berbicara dengan pihak sekolah. Tidak ada keputusan instan—semuanya butuh waktu. Tapi sedikit demi sedikit, dukungan mulai berdatangan. Guru-guru mulai berembuk. Program bantuan pendidikan dibuka. Beberapa siswa dan wali kelas ikut menyumbang.

Sementara itu, Ayu dan Rika mendorong Luh Sri ikut latihan lomba cerdas cermat. Awalnya ia menolak, merasa tak pantas. Tapi lama-lama, ia mulai kembali percaya diri. Setiap kali jawabannya benar, teman-temannya bersorak. Pelan-pelan, semangat itu tumbuh lagi.


Beberapa minggu kemudian, nama Luh Sri resmi diumumkan sebagai salah satu penerima beasiswa sekolah. Ia berdiri di tengah lapangan saat pengumuman itu, jantungnya berdetak cepat. Ia tak tahu harus menangis atau tersenyum.

Sepatu barunya—hasil urunan teman sekelas—terasa ringan di kakinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, langkahnya menuju kelas terasa tidak seberat dulu.


Hari lomba pun tiba. Aula sekolah penuh sorakan. Luh Sri berdiri tegap di depan mikrofon. Tangan kecilnya terangkat setiap kali pertanyaan dilontarkan. Ia menjawab dengan yakin dan tenang. Saat bel terakhir berbunyi dan papan skor menunjukkan kelasnya juara pertama, semua bersorak.

Air mata Luh Sri menetes. Bukan karena piala atau tepuk tangan—tapi karena ia telah membuktikan bahwa ejekan dan kesulitan tak akan mematahkan langkahnya.


Dua bulan kemudian, saat pembagian rapor, namanya kembali dipanggil sebagai siswa berprestasi. Ia maju dengan langkah mantap. Setelah acara, ia menghampiri Ibu Wayan.
“Bu… kalau waktu itu Ibu nggak bantu, mungkin saya udah berhenti sekolah,” ucapnya lirih.

Ibu Wayan tersenyum, menepuk bahunya. “Yang hebat itu kamu, Nak. Ibu cuma bantu buka jalan. Tapi yang berjalan dan bertahan, kamu sendiri.”

Luh Sri menatap langit biru. Angin sore menyapa wajahnya. Ia teringat masa-masa kelam beberapa bulan lalu—ejekan, kesulitan, air mata. Tapi kini semua itu menjadi langkah kecil yang membawanya sampai di sini.

Update Informasi SMA Negeri 1 Nusa Penida Kini dalam Genggaman.